1.
Pembahasan
1.1. Pengertian Hak Milik
Hak milik
adalah hak untuk menikmati sesuatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat
bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak
bertentangan dengan UU, ketertiban umum, dan tidak menganggu hak orang
lain(pasal 570 KUHper). Pengertian hak milik dalam pasal 570 itu masih dalam
arti luas dari benda, yang dapat menjadi objek hak milik, tidak hanya benda
tidak bergerak tetapi juga benda bergerak, lain halnya dengan rumusan yang
tercantum dalam pasal 20 UU nomor 5 tahun 1960, dimana dalam rumusannya itu
hanya mengenai benda tidak bergerak, khususnya atas tanah. Yang berbunyi: “hak
milik adalah turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas
tanah, dengan mengingat ketentuan yang tercantum dalam pasal 6 UUPA”. Hak
kepemilikan adalah hak terkuat dan terpenuh atas suatu benda (berwujud dan
tidak berwujud yang dapat dijadikan objek hak).
Sifat terkuat
dan terpenuh ini memberikan kepada pemilik untuk :
1) Mengasingkan (menyerahkan) selama-lamanya
hak miliknya kepada pihak lain.
2) Menyerahakan untuk sementara (jus in
re alina)
3) Meletakkan sebagai jaminan.
4) Mempertahankan terhadap setiap gangguan.
5) Mengadakan gugatan (aksi) pada pihak yang
merugikannya (revindicatie)
Dari ketentuan
pasal 570 KUHper dapat diuraikan pengertian sebagai berikut:
a) Hak milik adalah hak paling utama, karena
pemilik dapat menikmati sepenuhnya dan menguasai sebebas-bebasnya.
b) Dapat menikmati sepenuhnya, artinya
pemilik dapat memanfaatkan semaksimal mungkin , dan dapat memetik hasil
sebanyak-banyaknya.
c) Dapat menguasai sebebas-bebasnya artinya
pemilik dapat melakukan perbuatan apa saja tanpa batas terhadap benda miliknya
itu, misalnya memelihara sebaik-baiknya, membebani dengan hak-hak kebendaan dan
memindah tanggankan.
d) Hak milik tidak dapat diganggu gugat,
baik oleh orang lain maupun oleh penguas, kecuali dengan syarat-syarat dan
menurut ketentuan UU.
e) Tidak dapat di gugat, hendaklah diartikan
sejauh untuk memenuhi kebutuhan pemiliknya secara wajar, dengan memperhatikan
kepentingan orang lain (kepentingan umum)[1].
Pengunaan dan
penegasan hak milik dibatasi oleh kepentingan orang lain, bagaimanapun juga
menurut system hukum Indonesia, hak milik memiliki fondasi sosial, dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam penggunaan hak milik, harus
me,perhatikan 4 hal berikut ini:
1. Ketentuan hukum yang berlaku, seperti UU
gangguan, UU nomor 5 Tahun 1960, UU pencabutan hak atas tanah.
2. Ketertiban umum.
3. Hak-hak orang lain, seperti hak jasa pekarangan,
hak guna usaha, hipotek dan lain-lain.
4. Fungsi sosial.
1.2.
Ciri-ciri Hak Milik
a). Hak Utama
Hak milik
adalah hak utama, induk dari semua hak kebendaan, Soeten Malikul Adil
(1962:17), menyebut hak milik itu sebagai hak pangkal (original rech),
karena dengan adanya hak ini, maka dapat terjadi hak lain. Tanpa ada hak milik
terlebih dahulu tidak mungkin ada hak kebendaan yang diatas sesuatu benda, hak
milik tidak terdapat sedangkan hak-hak kebendaan lain terbatas, hak milik itu
tidak terbatas penggunaanya oleh pemiliknya.
b).
Utuh dan Lengkap
Hak milik
secara utuh dan lengkap melekat diatas benda hak milik sebgai satu kesatuan ,
hak milik yang melekat pada rumah itu sebagai keseluruhannya, tidak ada hak
milik atas semua kamar saja dalam suatu rumah, dengan demikian tidak mungkin
dilakukan pemindah tangganan atas sebuah kamar kepada pihak lain sebagai hak
milik, tidak mungkin ada hak milik di dalam hak milik.
c) Tetap. Tidak Lengkap
Hak milik
sifatnya tetap, tidak lengkap oleh hak kebendaan lain . hak milik adalah hak
utama, induk, pangkal, tidak mungkin lengkap oleh hak-hak kebadaan lain. Hak
milik hanya lenyap apabila berpindah
tangan kepada orang yang berhak menguasai setelah tenggang waktu tertenggang
waktu tertentu, sebaiknya hak kebendaan lain dapat lenyap apabila menghadapi
hak milik.[2]
Pendapat lain
menyatakan ada 4 ciri hak milik berdasarkan pasal 570 KUHper yaitu:
1) Berhak menikmati adapt yang akan diatur
dengan peraturan pemerintahan.
2) Penetapan
pemerintah menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan
peraturan peraturan.
3) Tidak mengganggu hak orang lain (hinder),
jika perlu dicabut untuk kepentingan umum dengan memberikan ganti rugi.
4) Tidak menyalah gunakan hak dalam
pelaksanaannya (misbruik van staft recth).[3]
1.3.
Cara Memperoleh Hak Milik
Cara untuk memperoleh hak milik
yang dijelaskan dalam UUPA pasal 22,26 yaitu sebagai berikut:
1. Menurut hukum adat yang akan diatur
dengan peraturan pemerintah
2. Penetapan pemerintah menurut cara dan
syarat-syarat yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
3. Ketentuan undang-undang.
Seluruh cara
penyerahan hak milik harus dengan memenuhi syarat pengawasan oleh pemerintah,
sedangkan menurut pasal 584 KUHper ditentukan lima cara untuk memperoleh hak
milik sebagai berikut:
1. Pengakuan (toeeigenieng) yaitu
memperoleh hak milik atas benda-benda yang tidak ada pemiliknya, (Res
Nullius). Res Nullius hanya atas benda yang bergerak misalnya memburu rusa
di hutan, memancing ikan laut di laut, dan lain-lain.
2. Perlekatan (Nat Rekking) yaitu
suatu cara untuk memperoleh hak milik dimana benda itu tambah besar atau
berlipat ganda karena alam. Contoh: tanah bertambah besar akibat gempa bumi,
kuda beranak, pohon berbuah, dan lain-lain.
3. Daluarsa (verjaring) yaitu suatu
cara untuk memperoleh hak milik atau membebaskan dari suatu perikatan dengan
lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang telah ditentukan
dalam UU tahun 1945 KUHper, ada dua macam daluarsa:
a. Acquisitieve verjaring adalah
suatu cara memperoleh hak milik karena lewatnya waktu.
b. Extinctieve verjaring adalah
membebaskan seseorang dari satu penagihan atau penuntutan hukum karena daluarsa
atau lewat waktu.
Ada 4 syarat daluarsa:
a) Bezitter sebagai pemilik
b) Bezit itu harus denagn jujur (itikad
baik)
c) Bezit harus terus menerus dan tidak
terputus
d) Bezit itu telah berusia 20 tahun atau 30
tahun (Tahun 1963 KUHper)
4. Pewarisan yaitu suatu proses peralihan
hak milik tau warisan dari pewaris pada ahli warisnya. Pewaris dapat dibedakan
menjadi dua macam yaitu karena UU dan wasiat.
5. Penyerahan yaitu perbuatan hukum yang
bertujuan untuk memindahkan hak milik pada pihak yang lainnya.[4]
Hoge raad
berpendapat bahwa cara-cara memperoleh hak milik tersebut tidak lengkap dan
tidak terlalu sistematis. Dikatakan tidak lengkap karena di dalam pasal 584
KUHper tidak disebutkan cara-cara lain, padahal cara memperoleh hak memperoleh
hak milik tidak hanya ada pada kelima cara itu, tetapi juga dikenal cara-cara
lain, seperti pencabutan hak, pembebasan hak, hibah, wasiat dan pencampuran
harta kekayaan pada saat bersamaan, dikatakan tidak terlalu sistematis, karena
segala jenis perolehan hak milik terdapat campur aduk, terutama pada nomor d
dan e, seharusnya yang lebih dahulu adalah nomor e, baru kemudian karena
warisan.
1.4. Batasan Hak Milik
Dari
ketentuan-ketentuan pasal 570 KUHper dapat diketahui pembatasan-pembatasan
penggunaan hak milik antara lain:
a. Tidak bertentangan dengan UU
Penggunaan hak
milik dibatasi oleh undang-undang artinya harus tidak bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan umum yang berlaku. Dan perakteknya pengertian bertentangan
dengan undang-undang telah diperluas menjadi bertentangan dengan hukum, dengan
demikian segala perbuatan penggunaan hak milik yang bukan saja bertentangan
dengan undang-undang melainkan juga bertentangan dengan kesusilaan dan
ketertiban umum pun dapat dilarang, misalnya penggunaan rumah sebagai tempat
pelacuran, perdaganggan minuman keras, perdaganggan narkoba, pusat perjudian.
b. Tidak menimbulkan gangguan terhadap orang
lain
Penggunaan hak
milik tidak boleh menimbulkan gangguan terhadap orang lain dan hak-hak orang.
Misalnya pemilik pabrik yang membuang limba pabriknya kesungai, sehingga
menganggu kesehatan dan kebersihan masyarakat sekitanya.
Kerugian akibat
gangguan (hinder) dapat digiugat melalui pasal 1365 KUHper tentang
onrechtmatinge daad (perbuatan melawan hukum)
c. Penyalah gunaan hak (misbruik van recht)
Berbuat
semaunya termasuk menyakah gunakan hak itu, penggunaan hak milik itu dibatasi
oleh kepentingan orang lain, penggunaan hak milik harus secara wajar. Walaupun
orang mempunyai hak milik, tidaklah berarti ia boleh berbuat seenaknya,
penyalahgunaan hak adalah menggunakan hak milik sedemikian rupa sehingga
kerugian orang lain lebih besar jika dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh
akibat dari penngunaan hak tersebut.
d.
Pembatasan oleh hukum tetangga
Hukum tetangga
adalah hukum yang membatasi kebebasan seseorang dalam penggunaan dan penguasaan
hak miliknya, atau juga dapat disebut suatu hukum yang mengatur hak dan
kewajiban orang yang hidup bertetangga, yang mana penggunaan dan pengguasaan
hak milik bersama, konsep ini sesuai dengan ketentuan pasal 6 UUP no 5 Tahun
1960, bahwa hak milik mempunyai fungsi sosial.
e. Pencabutan hak untuk kepentingan umum
Adakalnya hak
milik dicabut dari pemiliknya apabila kepentingan umum menghendakinya, tetapi
pencabutan itu harus dengan alasan, prosedurdan anti kerugian yang layak
menurut undang-undang. Pemerintah tidak boleh menurut semaunya saja mencabut
hak orang, walaupun dengan alasan hak milik mempunyai fungsi sosial.
Batasan dalam
UUPA menunjukkan bahwa hak milik bukanlah merupakan lambing kekuasaan yang
tidak terbtas atau hak asasi yang tidak terbatas, akn tetapi dibatasi oleh
kepentingan umum yang diungkapkan oleh hukum public.
1.5. Hak Milik Bersama
Hak milik
bersama dapat terjadi karena perjanjian atau Karena undang-undang, dikatakan
hak milik bersama (medeeigendom) karena terdapat beberapa orang pemilik atas
suatu benda yang sama, setiap pemilik peserta memiliki bagian yang tidak dapat
dipisahka dari benda itu, pemilikan bersama itu bisa berupa:
a. Pemilikan terhadap benda tertentu,
seperti rumah susun.
b. Terhadap seluruh
aktiva (piutang), dan pasiva (utang seperti harta perkawinan), warisan.
Menurut ketentuan pasal 573 berbunyi
“pembagian benda yang menjadi milik lebih dari satu orang harus dilakukan
menurut aturan-aturan mengenai pemisahan dan pembagian harta peninggalan diatur
dalam pasal 1066 sampai dengan 1125 bab
17 buku 11 KUHper mengenai hak milik bersama dengan warisan”. Hak milik bersama ada dua macam:
1) Hak milik bersama yang bebas
Hak milik ini
terjadi karena perjanjian antara berapa pemilik bersama atas suatu benda, para
pemilik bersama dapat meminta pemisahan dan pembagian terhadap benda bersama
itu. Setiap pemiliki bersama memiliki bagian sebagi harta kekayaan yang berdiri
sendiridan berhak menguasai bagiannya itu dan berbuat apa saja tehadap
bendanya, tanpa perlu izin dari pemilik
bersama lainnya.
2) Hak milik bersama terikat
Hak milik ini
terjadi karena ketentuan dan sebagai akibat hubungan hukum yang sudah ada lebih
dahulu, dalam hak milik bersanma yang terikat terhadap kesatuan mengenai benda
bersama dan pembagian tidak mungkin dilakukan, tipa pemilik bersama tidak
dimungkinkan berbuat apa saja tanpa izin dari pemilik bersama lainnya.
2. Kronologi Kasus
Kasus ini diunduh pada tanggal 20 Desember di Ma’had
Sunan Ampel Al-‘Ali melalui website http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/2dfeb75eb8059a61457704f082b9f9bc Penggugat mempunyai sebidang tanah
pekarangan dengan status Hak Milik seluas 2.455 M2 atas nama ASRI SUMARDJONO
(Ibu Penggugat) yang terletak di Jl.Timoho No.30 RT.81 RW.19 Baciro
Gondokusuman, Yogyakarta sebagaimana tersebut dalam daftar Sertifikat Tanah Hak
Milik No.01583/Baciro, Surat Ukur No.1 Tanggal 14-01-1998 yang diterbitkan oleh
Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta pada tanggal 14 Januari 1998 No.Sertifikat
13.05.03.04.1.91583; Tanah Pekarangan milik Penggugat tersebut diatas,
diatasnya berdiri 3 (tiga) Bangunan rumah milik Penggugat yang terpisah, yakni
Bangunan I seluas kurang lebih 150 M2, Bangunan II seluas 20 M2 dan Bangunan
III seluas 100 M2, yang ketiga bangunan milik Penggugat tersebut terletak pada
sisi bagian barat dari posisi tanah Pekarangan milik Penggugat tersebut, dan bangunan-bangunan
tersebut saat ini ditempati oleh Penggugat.
Pada tahun 2007, Tergugat I mendatangi Penggugat dengan
maksud untuk bekerja sama membuat usaha dan mendirikan Rumah Toko (Ruko) yang
rencananya akan dibangun Ruko diatas tanah milik Penggugat tersebut diatas
(posita No.1 diatas) pada bagian depan/sisi timur dari tanah milik Penggugat, dengan
rencana kesepakatan pada waktu itu, Tergugat I akan membangunkan ruko kemudian
disewakan kepada pihak ketiga dengan pembagian keuntungan, Penggugat
mendapatkan 20% dari harga sewa selama 10 tahun, setelah jangka waktu 10 tahun bangunan
Ruko tersebut menjadi hak milik Penggugat dan pengurusan Izin Mendirikan
Bangunan (IMBB) adalah tanggung jawab Pihak Tergugat I.
Sebelum rencana kesepakatan itu dituangkan dalam Akta Kesepakatan,
ternyata oleh Tergugat I tanpa ijin Penggugat pada tahun 2007 tersebut
serta-merta memulai pembangunan Bangunan Ruko dimaksud dan hanya berselang
sekitar 3 (tiga) bulan bangunan Ruko telah selesai dan Tergugat I menyatakan kesanggupannya
untuk segera menguruskan proses Izin Mendirikan Bangunan (IMBB) pada Pemerintah
kota Yogyakarta berdasarkan kesanggupan dan kesepakatan bersama bahwa Tergugat
I akan bertanggung jawab untuk mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMBB).
Pada waktu itu masih dalam tahun 2007 dengan adanya kekhawatiran
dari Penggugatt akan timbul permasalahan dikemudian hari, maka Penggugat
menawarkan kepada Tergugat I untuk dibuatkan secara formal Akta Perjanjian
Kerja Sama melalui Notaris, sehingga disepakati membuat Akta Perjanjian
Kerjasama melalui Notaris yang ditunjuk yakni Notaris Tri Agus Heryono, SH,
ternyata setelah konsep Perjanjian Kerjasama itu sudah selesai didraf, tinggal
akan dilakukan penandatanganan Perjanjian, dengan Itikad Tidak Baik dari Tergugat
I sampai saat ini Surat Perjanjian Kerjasama tersebut belum ditandatangani dan
difinalkan oleh Tergugat I, padahal pada waktu itu Bangunan Ruko sudah jadi,
malahan oleh Tergugat I telah Menyewakan kepada Tergugat III dan Tergugat IV; Bangunan
Ruko tersebut menjadi 3 (tiga) bagian bangunan yang masing-masing bagian dengan
ukuran dan luas kurang lebih 27 M2 yang luas keseluruhan Bangunan Ruko tersebut
seluas 81 M2, setelah Penggugat mengetahui bahwa dari ketiga bagian bangunan
Ruko tersebut telah disewakan kepada pihak Tergugat III dan Tergugat IV, maka
Penggugat mendesak kepada Tergugat I untuk segera mengurus Izin Mendirikan
Bangunan (IMBB) dimaksud dan segera memformalkan kesepakatan Kerjasama tersebut
melalui Notaris, ternyata oleh Tergugat I mengatakan pada waktu itu bahwa yang
membuka usaha itu adalah anaknnya yang bernama Windarto (Tergugat II) sehingga
meminta tanda tangan Penggugat dalam rangka pengurusan Izin Mendirikan Bangunan
(IMBB) pada Pemerintah Kota Yogyakarta.
Pada tahun 2008, Penggugat baru mengetahui bahwa
Permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMBB) yang dimohonkan oleh Tergugat II
yakni anak dari Tergugat I Ditolak oleh Pemerintah Kota Yogyakarta berdasarkan
Surat Dinas Perizinan Pemerintah Kota Yogyakarta Nomor: 640/7949 tanggal 6
September 2007 dengan dasar alasan bahwa diatas bangunan berdiri didalam Garis
Sempadan Bangunan (GSB) atau melanggar 100%, sehingga Permohonan IMBB tidak
dapat diproses/ditolak. Setelah Penggugat mengetahui ditolaknya Permohonan IMBB
tersebut, Penggugat mendesak kepada Para Tergugat-I dan II untuk Segera
Membongkar Bangunan Ruko Tersebut, namun Tergugat-I dan II tidak mau
membongkarnya, malahan terus menerus menyewakan ruko tersebut yang dibangun
diatas tanah milik Penggugat, maka Penggugat berusaha membuat surat kepada Pemerintah
Kota Yogyakarta agar melalui Pemerintah Kota Yogyakarta yang membongkar paksa
bangunan ruko tersebut, berdasarkan Surat Penggugat berturut-turut tertanggal
12 Maret 2008, tanggal 15 Desember 2008, tanggal 27 Mei 2010 dan tanggal 3
September 2010, malahan telah berulangkali difasilitasi oleh Pemerintah
Kelurahan Baciro untuk menyelesaikan kasus ini, namun oleh para Tergugat-I dan
II sampai saat ini Tidak Mau Untuk Membongkar Bangunan Ruko tersebut.
Disamping Tergugat I dan Tergugat II dihukum untuk membongkar
bangunan Ruko tersebut, juga Tergugat I dan Tergugat II dihukum untuk
menutup/menyegel bangunan ruko tersebut dan atau tidak ada bentuk usaha apapun
yang dilakukan oleh pihak manapun sebelum adanya Putusan Akhir atas Gugatan ini,
guna menghindari kerugian yang lebih banyak lagi yang diderita oleh Penggugat,
Hingga Penggugat memanggil Para Tergugat-I dan II melalui Kuasa Hukum Penggugat,
yakni pada tanggal 28 Februari 2011 untuk mencari solusi penyelesaian perkara
ini, namun Tergugat I dan Tergugat II Tidak Hadir dan Sampai Saat Ini Para Tergugat
I dan Tergugat II Belum Membongkar Bangunan Ruko Tersebut, malahan
terus-terusan menyewakan Bangunan Ruko tersebut kepada Pihak Tergugat III dan
Tergugat IV, sehingga Penggugat Sangat Dirugikan atas Perbuatan Tergugat I dan Tergugat
II karena Tanpa Hak Dan Melawan Hukum telah mengambil keuntungan dari Sewa
Bangunan Ruko tersebut yang didirikan diatas Tanah Milik Penggugat Tanpa Hak
dan Melawan Hukum.
Disamping Para Tergugat-I dan II menguasai Tanah milik Penggugat
secara melawan Hukum dan Tanpa Hak, juga Para Tergugat-I dan II telah
wanprestasi atas kesanggupannya guna mengurus IMBB dan telah Beritikad Tidak
Baik tidak berkehendak untuk membuat kesepakatan Perjanjian Kerjasama, padahal
dapat diketahui bahwa sejak tahun 2007 sampai gugatan ini didaftarkan kepada
Pengadilan, para Tergugat-I dan II telah mengambil keuntungan atas sewa
bangunan ruko tersebut dari Tergugat-III dan IV, sehingga Penggugat dirugikan
secara meteriil dan immaterial; sehubungan dengan Pembangunan Bangunan Ruko tersebut
yang dilakukan oleh Para Tergugat-I dan II diatas Tanah Milik Penggugat Melawan
Hukum dan Tanpa Hak, maka dihukum kepada Para Tergugat-I dan II untuk
membongkar dan Mengosongkan Bangunan diatas tanah milik Penggugat tersebut, jika
perlu dengan bantuan Pihak Aparat Kepolisian; sehubungan dengan Penguasaan
Tanah milik Penggugat itu dilakukan oleh Tergugat-I dan II secara Melawan Hukum
dan Tanpa Hak, maka hubungan hukum dalam bentuk sewa-menyewa antara para
Tergugat-I dan II dengan pihak Tergugat III dan IV, dinyatakan TIDAK SAH,
karena pihak yang menyewakan yang dalam hal ini Para Tergugat-I dan II adalah
pihak yang tidak berhak dan pihak yang beretikad tidak baik. Sehingga Para Tergugat-III
dan IV dihukum harus mengosongkan dan pindah dari Tanah millik Penggugat tersebut;
sehubungan Tergugat-I dan II telah menguasai Tanah Milik Penggugat tersebut
secara melawan hukum dan tanpa hak sejak Tahun 2007.
3. Analisis Kasus
Dari kasus diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa tergugat I melakukan pelanggaran menggunakan tanah yang bukan
hak miliknya, beritikad tidak baik dengan menolak penandatanganan akta
perjanjian di notaris dan melakukan wanprestasi.
Menggunakan tanah
yang bukan hak miliknya dalah pelanggaran hukum, maka Tergugat I dikaitkan
dengan Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi “Tiap perbuatan melanggar hukum,
yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Berdasarkan pasal 579 KUHPerdata
yang berbunyi “Tiap-tiap pemegang kedudukan berkuasa dengan itikad buruk,
berkewajiban sebagai berikut :
1.
Dalam mengembalikan kebendaan itu kepada si pemilik, ia harus
mengembalikan pula segala hasil
kebendaan, bahkan hasil-hasil itulah diantaranya, yang mana kendati sebenarnya
tidak dinikmati olehnya, namun yang sedianya dapatlah si pemilik menikmatinya.
2.
Ia harus mengganti segala biaya, rugi dan bunga.
Wanprestasi, sebagaimana dikatakan
Subekti, berarti kelalaian atau kealpaan seorang debitur, kelalaian itu berupa
:
1.
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.
2.
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimna yang
dijanjikan.
3.
Melakukan apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat.
4.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjin tidak boleh dilakukannya.
Dalam kasus Tergugat I, wanprestasi
yang dilakukannya sesuai dengan pernyataan pertama diatas itu tidak melakukan
apa yang disanggupi akan dilakukan, dengan tidak memenuhi kesanggupannya
mengurus Izin mendirikan bangunan (IMBB).
Akibat hukum bagi debitur yang telah
melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi sebagai berikut :
1.
Debitur diwajibkan membayar kerugian yang diderita kreditur (Pasal
1243 KUHPerdata).
2.
Apabila perikatan itu timbale balik, kreditur dapat menuntut
pemutusan atau pembatalan perikatan melalui hakim (pasal 1266 KUHPerdata).
3.
Dalam perikatan untuk meberikan sesuatu, resiko beralih pada
debitur sejak terjadi wanprestasi (pasal 1237 ayat 2 KUHPerdata).
4.
Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan
atau pembayaran disertai pembayaran ganti kerugian (pasal 1267 KUHPerdata).
5.
Debitur wajib membayar biaya perkara jika perkara diperkarakan di
muka pengadilan.