Powered By Blogger

Kamis, 04 Desember 2014

Analisis Kasus Perdata Sengketa Hak Milik

1.    Pembahasan
1.1. Pengertian Hak Milik
Hak milik adalah hak untuk menikmati sesuatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan UU, ketertiban umum, dan tidak menganggu hak orang lain(pasal 570 KUHper). Pengertian hak milik dalam pasal 570 itu masih dalam arti luas dari benda, yang dapat menjadi objek hak milik, tidak hanya benda tidak bergerak tetapi juga benda bergerak, lain halnya dengan rumusan yang tercantum dalam pasal 20 UU nomor 5 tahun 1960, dimana dalam rumusannya itu hanya mengenai benda tidak bergerak, khususnya atas tanah. Yang berbunyi: “hak milik adalah turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan yang tercantum dalam pasal 6 UUPA”. Hak kepemilikan adalah hak terkuat dan terpenuh atas suatu benda (berwujud dan tidak berwujud yang dapat dijadikan objek hak).
Sifat terkuat dan terpenuh ini memberikan kepada pemilik untuk :
1)      Mengasingkan (menyerahkan) selama-lamanya hak miliknya kepada pihak lain.
2)      Menyerahakan untuk sementara (jus in re alina)
3)      Meletakkan sebagai jaminan.
4)      Mempertahankan terhadap setiap gangguan.
5)      Mengadakan gugatan (aksi) pada pihak yang merugikannya (revindicatie)
Dari ketentuan pasal 570 KUHper dapat diuraikan pengertian sebagai berikut:
a)      Hak milik adalah hak paling utama, karena pemilik dapat menikmati sepenuhnya dan menguasai sebebas-bebasnya.
b)      Dapat menikmati sepenuhnya, artinya pemilik dapat memanfaatkan semaksimal mungkin , dan dapat memetik hasil sebanyak-banyaknya.
c)      Dapat menguasai sebebas-bebasnya artinya pemilik dapat melakukan perbuatan apa saja tanpa batas terhadap benda miliknya itu, misalnya memelihara sebaik-baiknya, membebani dengan hak-hak kebendaan dan memindah tanggankan.
d)      Hak milik tidak dapat diganggu gugat, baik oleh orang lain maupun oleh penguas, kecuali dengan syarat-syarat dan menurut ketentuan UU.
e)      Tidak dapat di gugat, hendaklah diartikan sejauh untuk memenuhi kebutuhan pemiliknya secara wajar, dengan memperhatikan kepentingan orang lain (kepentingan umum)[1].
Pengunaan dan penegasan hak milik dibatasi oleh kepentingan orang lain, bagaimanapun juga menurut system hukum Indonesia, hak milik memiliki fondasi sosial, dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam penggunaan hak milik, harus me,perhatikan 4 hal berikut ini:
1.      Ketentuan hukum yang berlaku, seperti UU gangguan, UU nomor 5 Tahun 1960, UU pencabutan hak atas tanah.
2.      Ketertiban umum.
3.      Hak-hak orang lain, seperti hak jasa pekarangan, hak guna usaha, hipotek dan lain-lain.
4.      Fungsi sosial.
1.2. Ciri-ciri Hak Milik
a). Hak Utama
Hak milik adalah hak utama, induk dari semua hak kebendaan, Soeten Malikul Adil (1962:17), menyebut hak milik itu sebagai hak pangkal (original rech), karena dengan adanya hak ini, maka dapat terjadi hak lain. Tanpa ada hak milik terlebih dahulu tidak mungkin ada hak kebendaan yang diatas sesuatu benda, hak milik tidak terdapat sedangkan hak-hak kebendaan lain terbatas, hak milik itu tidak terbatas penggunaanya oleh pemiliknya.
b).  Utuh dan Lengkap
Hak milik secara utuh dan lengkap melekat diatas benda hak milik sebgai satu kesatuan , hak milik yang melekat pada rumah itu sebagai keseluruhannya, tidak ada hak milik atas semua kamar saja dalam suatu rumah, dengan demikian tidak mungkin dilakukan pemindah tangganan atas sebuah kamar kepada pihak lain sebagai hak milik, tidak mungkin ada hak milik di dalam hak milik.
c) Tetap. Tidak Lengkap
Hak milik sifatnya tetap, tidak lengkap oleh hak kebendaan lain . hak milik adalah hak utama, induk, pangkal, tidak mungkin lengkap oleh hak-hak kebadaan lain. Hak milik  hanya lenyap apabila berpindah tangan kepada orang yang berhak menguasai setelah tenggang waktu tertenggang waktu tertentu, sebaiknya hak kebendaan lain dapat lenyap apabila menghadapi hak milik.[2]
Pendapat lain menyatakan ada 4 ciri hak milik berdasarkan pasal 570 KUHper yaitu:
1)      Berhak menikmati adapt yang akan diatur dengan peraturan pemerintahan.
2)      Penetapan  pemerintah menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan peraturan peraturan.
3)      Tidak mengganggu hak orang lain (hinder), jika perlu dicabut untuk kepentingan umum dengan memberikan ganti rugi.
4)      Tidak menyalah gunakan hak dalam pelaksanaannya (misbruik van staft recth).[3]
1.3. Cara Memperoleh Hak Milik
            Cara untuk memperoleh hak milik yang dijelaskan dalam UUPA pasal 22,26 yaitu sebagai berikut:
1.      Menurut hukum adat yang akan diatur dengan peraturan pemerintah
2.      Penetapan pemerintah menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
3.      Ketentuan undang-undang.
Seluruh cara penyerahan hak milik harus dengan memenuhi syarat pengawasan oleh pemerintah, sedangkan menurut pasal 584 KUHper ditentukan lima cara untuk memperoleh hak milik sebagai berikut:
1.      Pengakuan (toeeigenieng) yaitu memperoleh hak milik atas benda-benda yang tidak ada pemiliknya, (Res Nullius). Res Nullius hanya atas benda yang bergerak misalnya memburu rusa di hutan, memancing ikan laut di laut, dan lain-lain.
2.      Perlekatan (Nat Rekking) yaitu suatu cara untuk memperoleh hak milik dimana benda itu tambah besar atau berlipat ganda karena alam. Contoh: tanah bertambah besar akibat gempa bumi, kuda beranak, pohon berbuah, dan lain-lain.
3.      Daluarsa (verjaring) yaitu suatu cara untuk memperoleh hak milik atau membebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang telah ditentukan dalam UU tahun 1945 KUHper, ada dua macam daluarsa:
a.       Acquisitieve verjaring adalah suatu cara memperoleh hak milik karena lewatnya waktu.
b.      Extinctieve verjaring adalah membebaskan seseorang dari satu penagihan atau penuntutan hukum karena daluarsa atau lewat waktu.
Ada 4 syarat daluarsa:
a)      Bezitter sebagai pemilik
b)      Bezit itu harus denagn jujur (itikad baik)
c)      Bezit harus terus menerus dan tidak terputus
d)      Bezit itu telah berusia 20 tahun atau 30 tahun (Tahun 1963 KUHper)
4.      Pewarisan yaitu suatu proses peralihan hak milik tau warisan dari pewaris pada ahli warisnya. Pewaris dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu karena UU dan wasiat.
5.      Penyerahan yaitu perbuatan hukum yang bertujuan untuk memindahkan hak milik pada pihak yang lainnya.[4]
Hoge raad berpendapat bahwa cara-cara memperoleh hak milik tersebut tidak lengkap dan tidak terlalu sistematis. Dikatakan tidak lengkap karena di dalam pasal 584 KUHper tidak disebutkan cara-cara lain, padahal cara memperoleh hak memperoleh hak milik tidak hanya ada pada kelima cara itu, tetapi juga dikenal cara-cara lain, seperti pencabutan hak, pembebasan hak, hibah, wasiat dan pencampuran harta kekayaan pada saat bersamaan, dikatakan tidak terlalu sistematis, karena segala jenis perolehan hak milik terdapat campur aduk, terutama pada nomor d dan e, seharusnya yang lebih dahulu adalah nomor e, baru kemudian karena warisan.
1.4.      Batasan Hak Milik
Dari ketentuan-ketentuan pasal 570 KUHper dapat diketahui pembatasan-pembatasan penggunaan hak milik antara lain:
a.       Tidak bertentangan dengan UU
Penggunaan hak milik dibatasi oleh undang-undang artinya harus tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan umum yang berlaku. Dan perakteknya pengertian bertentangan dengan undang-undang telah diperluas menjadi bertentangan dengan hukum, dengan demikian segala perbuatan penggunaan hak milik yang bukan saja bertentangan dengan undang-undang melainkan juga bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum pun dapat dilarang, misalnya penggunaan rumah sebagai tempat pelacuran, perdaganggan minuman keras, perdaganggan narkoba, pusat perjudian.
b.      Tidak menimbulkan gangguan terhadap orang lain
Penggunaan hak milik tidak boleh menimbulkan gangguan terhadap orang lain dan hak-hak orang. Misalnya pemilik pabrik yang membuang limba pabriknya kesungai, sehingga menganggu kesehatan dan kebersihan masyarakat sekitanya.
Kerugian akibat gangguan (hinder) dapat digiugat melalui pasal 1365 KUHper tentang onrechtmatinge daad (perbuatan melawan hukum)
c.       Penyalah gunaan hak (misbruik van recht)
Berbuat semaunya termasuk menyakah gunakan hak itu, penggunaan hak milik itu dibatasi oleh kepentingan orang lain, penggunaan hak milik harus secara wajar. Walaupun orang mempunyai hak milik, tidaklah berarti ia boleh berbuat seenaknya, penyalahgunaan hak adalah menggunakan hak milik sedemikian rupa sehingga kerugian orang lain lebih besar jika dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh akibat dari penngunaan hak tersebut.
d.      Pembatasan oleh hukum tetangga
Hukum tetangga adalah hukum yang membatasi kebebasan seseorang dalam penggunaan dan penguasaan hak miliknya, atau juga dapat disebut suatu hukum yang mengatur hak dan kewajiban orang yang hidup bertetangga, yang mana penggunaan dan pengguasaan hak milik bersama, konsep ini sesuai dengan ketentuan pasal 6 UUP no 5 Tahun 1960, bahwa hak milik mempunyai fungsi sosial.
e.       Pencabutan hak untuk kepentingan umum
Adakalnya hak milik dicabut dari pemiliknya apabila kepentingan umum menghendakinya, tetapi pencabutan itu harus dengan alasan, prosedurdan anti kerugian yang layak menurut undang-undang. Pemerintah tidak boleh menurut semaunya saja mencabut hak orang, walaupun dengan alasan hak milik mempunyai fungsi sosial.
Batasan dalam UUPA menunjukkan bahwa hak milik bukanlah merupakan lambing kekuasaan yang tidak terbtas atau hak asasi yang tidak terbatas, akn tetapi dibatasi oleh kepentingan umum yang diungkapkan oleh hukum public.
1.5.      Hak Milik Bersama
Hak milik bersama dapat terjadi karena perjanjian atau Karena undang-undang, dikatakan hak milik bersama (medeeigendom) karena terdapat beberapa orang pemilik atas suatu benda yang sama, setiap pemilik peserta memiliki bagian yang tidak dapat dipisahka dari benda itu, pemilikan bersama itu bisa berupa:
a.       Pemilikan terhadap benda tertentu, seperti rumah susun.
b.      Terhadap seluruh aktiva (piutang), dan pasiva (utang seperti harta perkawinan), warisan.
Menurut ketentuan pasal 573 berbunyi “pembagian benda yang menjadi milik lebih dari satu orang harus dilakukan menurut aturan-aturan mengenai pemisahan dan pembagian harta peninggalan diatur dalam pasal 1066 sampai dengan  1125 bab 17 buku 11 KUHper mengenai hak milik bersama dengan warisan”.  Hak milik bersama ada dua macam:
1)      Hak milik bersama yang bebas
Hak milik ini terjadi karena perjanjian antara berapa pemilik bersama atas suatu benda, para pemilik bersama dapat meminta pemisahan dan pembagian terhadap benda bersama itu. Setiap pemiliki bersama memiliki bagian sebagi harta kekayaan yang berdiri sendiridan berhak menguasai bagiannya itu dan berbuat apa saja tehadap bendanya, tanpa perlu izin dari pemilik  bersama lainnya.
2)      Hak milik bersama terikat
Hak milik ini terjadi karena ketentuan dan sebagai akibat hubungan hukum yang sudah ada lebih dahulu, dalam hak milik bersanma yang terikat terhadap kesatuan mengenai benda bersama dan pembagian tidak mungkin dilakukan, tipa pemilik bersama tidak dimungkinkan berbuat apa saja tanpa izin dari pemilik bersama lainnya.


2. Kronologi Kasus
Kasus ini diunduh pada tanggal 20 Desember di Ma’had Sunan Ampel Al-‘Ali melalui website http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/2dfeb75eb8059a61457704f082b9f9bc         Penggugat mempunyai sebidang tanah pekarangan dengan status Hak Milik seluas 2.455 M2 atas nama ASRI SUMARDJONO (Ibu Penggugat) yang terletak di Jl.Timoho No.30 RT.81 RW.19 Baciro Gondokusuman, Yogyakarta sebagaimana tersebut dalam daftar Sertifikat Tanah Hak Milik No.01583/Baciro, Surat Ukur No.1 Tanggal 14-01-1998 yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta pada tanggal 14 Januari 1998 No.Sertifikat 13.05.03.04.1.91583; Tanah Pekarangan milik Penggugat tersebut diatas, diatasnya berdiri 3 (tiga) Bangunan rumah milik Penggugat yang terpisah, yakni Bangunan I seluas kurang lebih 150 M2, Bangunan II seluas 20 M2 dan Bangunan III seluas 100 M2, yang ketiga bangunan milik Penggugat tersebut terletak pada sisi bagian barat dari posisi tanah Pekarangan milik Penggugat tersebut, dan bangunan-bangunan tersebut saat ini ditempati oleh Penggugat.
Pada tahun 2007, Tergugat I mendatangi Penggugat dengan maksud untuk bekerja sama membuat usaha dan mendirikan Rumah Toko (Ruko) yang rencananya akan dibangun Ruko diatas tanah milik Penggugat tersebut diatas (posita No.1 diatas) pada bagian depan/sisi timur dari tanah milik Penggugat, dengan rencana kesepakatan pada waktu itu, Tergugat I akan membangunkan ruko kemudian disewakan kepada pihak ketiga dengan pembagian keuntungan, Penggugat mendapatkan 20% dari harga sewa selama 10 tahun, setelah jangka waktu 10 tahun bangunan Ruko tersebut menjadi hak milik Penggugat dan pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMBB) adalah tanggung jawab Pihak Tergugat I.
Sebelum rencana kesepakatan itu dituangkan dalam Akta Kesepakatan, ternyata oleh Tergugat I tanpa ijin Penggugat pada tahun 2007 tersebut serta-merta memulai pembangunan Bangunan Ruko dimaksud dan hanya berselang sekitar 3 (tiga) bulan bangunan Ruko telah selesai dan Tergugat I menyatakan kesanggupannya untuk segera menguruskan proses Izin Mendirikan Bangunan (IMBB) pada Pemerintah kota Yogyakarta berdasarkan kesanggupan dan kesepakatan bersama bahwa Tergugat I akan bertanggung jawab untuk mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMBB).
Pada waktu itu masih dalam tahun 2007 dengan adanya kekhawatiran dari Penggugatt akan timbul permasalahan dikemudian hari, maka Penggugat menawarkan kepada Tergugat I untuk dibuatkan secara formal Akta Perjanjian Kerja Sama melalui Notaris, sehingga disepakati membuat Akta Perjanjian Kerjasama melalui Notaris yang ditunjuk yakni Notaris Tri Agus Heryono, SH, ternyata setelah konsep Perjanjian Kerjasama itu sudah selesai didraf, tinggal akan dilakukan penandatanganan Perjanjian, dengan Itikad Tidak Baik dari Tergugat I sampai saat ini Surat Perjanjian Kerjasama tersebut belum ditandatangani dan difinalkan oleh Tergugat I, padahal pada waktu itu Bangunan Ruko sudah jadi, malahan oleh Tergugat I telah Menyewakan kepada Tergugat III dan Tergugat IV; Bangunan Ruko tersebut menjadi 3 (tiga) bagian bangunan yang masing-masing bagian dengan ukuran dan luas kurang lebih 27 M2 yang luas keseluruhan Bangunan Ruko tersebut seluas 81 M2, setelah Penggugat mengetahui bahwa dari ketiga bagian bangunan Ruko tersebut telah disewakan kepada pihak Tergugat III dan Tergugat IV, maka Penggugat mendesak kepada Tergugat I untuk segera mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMBB) dimaksud dan segera memformalkan kesepakatan Kerjasama tersebut melalui Notaris, ternyata oleh Tergugat I mengatakan pada waktu itu bahwa yang membuka usaha itu adalah anaknnya yang bernama Windarto (Tergugat II) sehingga meminta tanda tangan Penggugat dalam rangka pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMBB) pada Pemerintah Kota Yogyakarta.
Pada tahun 2008, Penggugat baru mengetahui bahwa Permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMBB) yang dimohonkan oleh Tergugat II yakni anak dari Tergugat I Ditolak oleh Pemerintah Kota Yogyakarta berdasarkan Surat Dinas Perizinan Pemerintah Kota Yogyakarta Nomor: 640/7949 tanggal 6 September 2007 dengan dasar alasan bahwa diatas bangunan berdiri didalam Garis Sempadan Bangunan (GSB) atau melanggar 100%, sehingga Permohonan IMBB tidak dapat diproses/ditolak. Setelah Penggugat mengetahui ditolaknya Permohonan IMBB tersebut, Penggugat mendesak kepada Para Tergugat-I dan II untuk Segera Membongkar Bangunan Ruko Tersebut, namun Tergugat-I dan II tidak mau membongkarnya, malahan terus menerus menyewakan ruko tersebut yang dibangun diatas tanah milik Penggugat, maka Penggugat berusaha membuat surat kepada Pemerintah Kota Yogyakarta agar melalui Pemerintah Kota Yogyakarta yang membongkar paksa bangunan ruko tersebut, berdasarkan Surat Penggugat berturut-turut tertanggal 12 Maret 2008, tanggal 15 Desember 2008, tanggal 27 Mei 2010 dan tanggal 3 September 2010, malahan telah berulangkali difasilitasi oleh Pemerintah Kelurahan Baciro untuk menyelesaikan kasus ini, namun oleh para Tergugat-I dan II sampai saat ini Tidak Mau Untuk Membongkar Bangunan Ruko tersebut.
Disamping Tergugat I dan Tergugat II dihukum untuk membongkar bangunan Ruko tersebut, juga Tergugat I dan Tergugat II dihukum untuk menutup/menyegel bangunan ruko tersebut dan atau tidak ada bentuk usaha apapun yang dilakukan oleh pihak manapun sebelum adanya Putusan Akhir atas Gugatan ini, guna menghindari kerugian yang lebih banyak lagi yang diderita oleh Penggugat, Hingga Penggugat memanggil Para Tergugat-I dan II melalui Kuasa Hukum Penggugat, yakni pada tanggal 28 Februari 2011 untuk mencari solusi penyelesaian perkara ini, namun Tergugat I dan Tergugat II Tidak Hadir dan Sampai Saat Ini Para Tergugat I dan Tergugat II Belum Membongkar Bangunan Ruko Tersebut, malahan terus-terusan menyewakan Bangunan Ruko tersebut kepada Pihak Tergugat III dan Tergugat IV, sehingga Penggugat Sangat Dirugikan atas Perbuatan Tergugat I dan Tergugat II karena Tanpa Hak Dan Melawan Hukum telah mengambil keuntungan dari Sewa Bangunan Ruko tersebut yang didirikan diatas Tanah Milik Penggugat Tanpa Hak dan Melawan Hukum.
Disamping Para Tergugat-I dan II menguasai Tanah milik Penggugat secara melawan Hukum dan Tanpa Hak, juga Para Tergugat-I dan II telah wanprestasi atas kesanggupannya guna mengurus IMBB dan telah Beritikad Tidak Baik tidak berkehendak untuk membuat kesepakatan Perjanjian Kerjasama, padahal dapat diketahui bahwa sejak tahun 2007 sampai gugatan ini didaftarkan kepada Pengadilan, para Tergugat-I dan II telah mengambil keuntungan atas sewa bangunan ruko tersebut dari Tergugat-III dan IV, sehingga Penggugat dirugikan secara meteriil dan immaterial; sehubungan dengan Pembangunan Bangunan Ruko tersebut yang dilakukan oleh Para Tergugat-I dan II diatas Tanah Milik Penggugat Melawan Hukum dan Tanpa Hak, maka dihukum kepada Para Tergugat-I dan II untuk membongkar dan Mengosongkan Bangunan diatas tanah milik Penggugat tersebut, jika perlu dengan bantuan Pihak Aparat Kepolisian; sehubungan dengan Penguasaan Tanah milik Penggugat itu dilakukan oleh Tergugat-I dan II secara Melawan Hukum dan Tanpa Hak, maka hubungan hukum dalam bentuk sewa-menyewa antara para Tergugat-I dan II dengan pihak Tergugat III dan IV, dinyatakan TIDAK SAH, karena pihak yang menyewakan yang dalam hal ini Para Tergugat-I dan II adalah pihak yang tidak berhak dan pihak yang beretikad tidak baik. Sehingga Para Tergugat-III dan IV dihukum harus mengosongkan dan pindah dari Tanah millik Penggugat tersebut; sehubungan Tergugat-I dan II telah menguasai Tanah Milik Penggugat tersebut secara melawan hukum dan tanpa hak sejak Tahun 2007.

3. Analisis Kasus
Dari kasus diatas dapat diambil kesimpulan bahwa tergugat I melakukan pelanggaran menggunakan tanah yang bukan hak miliknya, beritikad tidak baik dengan menolak penandatanganan akta perjanjian di notaris dan melakukan wanprestasi.
            Menggunakan tanah yang bukan hak miliknya dalah pelanggaran hukum, maka Tergugat I dikaitkan dengan Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Berdasarkan pasal 579 KUHPerdata yang berbunyi “Tiap-tiap pemegang kedudukan berkuasa dengan itikad buruk, berkewajiban sebagai berikut :
1.    Dalam mengembalikan kebendaan itu kepada si pemilik, ia harus mengembalikan pula   segala hasil kebendaan, bahkan hasil-hasil itulah diantaranya, yang mana kendati sebenarnya tidak dinikmati olehnya, namun yang sedianya dapatlah si pemilik menikmatinya.
2.      Ia harus mengganti segala biaya, rugi dan bunga.
Wanprestasi, sebagaimana dikatakan Subekti, berarti kelalaian atau kealpaan seorang debitur, kelalaian itu berupa :
1.      Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.
2.      Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimna yang dijanjikan.
3.      Melakukan apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat.
4.      Melakukan sesuatu yang menurut perjanjin tidak boleh dilakukannya.
Dalam kasus Tergugat I, wanprestasi yang dilakukannya sesuai dengan pernyataan pertama diatas itu tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan, dengan tidak memenuhi kesanggupannya mengurus Izin mendirikan bangunan (IMBB).
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi sebagai berikut :
1.      Debitur diwajibkan membayar kerugian yang diderita kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata).
2.      Apabila perikatan itu timbale balik, kreditur dapat menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan melalui hakim (pasal 1266 KUHPerdata).
3.      Dalam perikatan untuk meberikan sesuatu, resiko beralih pada debitur sejak terjadi wanprestasi (pasal 1237 ayat 2 KUHPerdata).
4.      Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau pembayaran disertai pembayaran ganti kerugian (pasal 1267 KUHPerdata).
5.      Debitur wajib membayar biaya perkara jika perkara diperkarakan di muka pengadilan.



[1] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti. 2000, Bandung, hal. 144
[2] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti. 2000, Bandung, hal. 151
[3] Mariam Darus Badrudaman, Mencari Sumber Hukum Benda Nasional, hal. 46
[4] Sudikno Merto, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), hal. 103

Hukum Perdata : Waris dalam BW

HUKUM WARIS BW

A.    Pendahuluan
Beberapa macam asas dan dasar hukum waris BW yang berpengaruh terhadap pembagian warisan. Dengan mengenal dan memahami makna hakiki dari asas-asas dan dasar-dasar tersebut, pembagian harta warisan kepada ahli waris yang berhak besar kemungkinan akan mencapai hasil yang adil. Seperti yang diketahui bahwa hukum waris BW termasuk dalam lapangan atau bidang hukum perdata. Semua cabang hukum yang termsuk dalam bidang hukum perdata memiliki kesamaan sifat dasar, anatara lain bersifat mengatur dan tidak ada unsur paksaan. Namun untuk hukum waris BW, meskipun letaknya dalam bidang hukum perdata, tetapi ternyata didalamnya terdapat unsur paksaan.
Unsur paksaan dalam hukum waris BW misalnya ketentuan yang memberikan hak mutlak kepada ahli waris tertentu atas sejumlah tertentu dari harta warisan atau ketentuan yang melarang pewaris sewaktu hidupnya untuk membuat ketetapan terhadap sejumlah tertentu dari hartanya.Jika si pewaris sewaktu hidupnya telah membuat ketetapan seperti menghibahkan sejumlah tertentu dari hartanya yang dilarang untuk itu, maka penerimaan hibah mempunyai kewajiaban hukum mengembalikan harta yang telah dihibahkan kepadanya tersebut kedalam harta warisan guna memenuhi hak mutlak ahli waris yang mempunyai hak mutlak.
Beda antara unsur paksaan dalam hukum waris BW khususnya dengan unsur paksaan  pada hukum yang bersifat memaksa seperti hukum pidana, bahwa pelanggaran terhadap unsur paksaan dalam hukum waris BW tidak berakibat pidana, melainkan hanya berupa konsekuensi saja sebagaimana contoh diatas. Oleh karenanya, meskipun didalam hukum waris BW terdapat unsur paksaan seperti dalam hukum pidana, namun posisi hukum waris BW sebagai salah satu cabang hukum perdata yang bersifat mengatur tidak terpengaruh. Konsekuensi dari hukum waris BW sebagai salah satu cabang hukum perdata yang bersifat mengatur, maka apa saja yang dibuat oleh pewaris terhadap hartanya dikala ia masih hidup adalah kewenangannya. Namun jika pelaksanaan kewenagan itu melampaui batas yang diperkenankan, maka akan nada resiko dikemudian hari setelah ia meninggal dunia.

B. Pengertian Hukum Waris
Menurut K.U.H Perdata bahwa hukum waris adalah hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih pada orang lain yang masih hidup.
Vollmar berpendapat bahwa hokum waris dalah perpindahan dari sebuah harta, kekayaan seutuhnya, jadi keseluruhan hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang yang mewariskan kepada pewarisnya (Vollmar, 1986: 373).
Dari beberapa pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa “Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antar mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga”.
Menurut pasal 833 ayat I KUH Perdata bahwa yang dapat diwariskan atau obyek kewarisan adalah segala barang yang dimiliki si pewaris, segala hak dan segala kewajiban dari si pewaris. Adapun unsur-unsur waris sebagai berikut:
1.      Kaidah hukum
2.      Pemindahan harta kekayaan pewaris
3.      Ahli waris
4.      Bagian yang diterima
5.      Hubungan ahli waris dengan pihak keluarga
Hukum waris dapat dibedakan menjadi dua:
1.      Hukum waris tertulis : kaidah-kaidah hokum yang terdapat dan perundang-undangan dan jurisprudensi.
2.      Hukum waris adat : hokum waris yang timbul dan hidup dalam masyarakat adat.
C. Dasar-dasar Hukum Kewarisan
            Hokum waris yang telah diatur dalam buku II KUH Perdata sebanyak 300 pasal dari 830-1130. Mengenai hokum waris juga diatur dalam inpres No.1 tahun 1991.
Hokum waris diatur dalam buku II tentang benda, khususnya dalam:
Titel XII          : Tentang Kewarisan Karena Kematian
Titel XIII         : Tentang surat wasiat
Titel XIV         : Tentang pelaksanaan wasiat dan pengurusan harta warisan
Titel XV          : Tentang hak pemikir dan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran nama         harta peninggalan
Titel XVI        : Tenteng menerima dan menolak warisan
Titel XVII       : Tentang pemisahan harta peninggalan
Titel XVIII     : Tentang harta peninggalan tak terurus

D. Ahli Waris
Dalam ketentuan BW ditetapkan orang-orang yang berhak mendapatkan harta warisan atau yang disebut sebagai hak mutlak ( legitieme portie )  yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan harta warisan. Seseorang yang berhak atas suatu legitieme portie dinamakan “ legitimaris “.
Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli waris, yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:
a)      Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan / atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan / hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami / isteri tidak saling mewarisi; Bagian golongan pertama yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak-anak beserta keturunan mereka, dan janda atau duda yang hidup paling lama, masing-masing memperoleh satu bagian yang sama. Jadi bila terdapat empat orang anak dan janda, mereka masing-masing mendapat 1/5 bagian. Apabila salah seorang anak telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris akan tetapi mempunyai empat orang anak, yaitu cucu pewaris, maka bagian anak yang 1/5 dibagi di antara anak-anak yang menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal itu (plaatsvervulling), sehingga masing-masing cucu memperoleh 1/20 bagian. Jadi hakikat bagian dari golongan pertama ini, jika pewaris hanya meninggalkan seorang anak dan dua orang cucu, maka cucu tidak memperoleh warisan selama anak pewaris masih ada, baru apabila anak pewaris itu telah meninggal lebih dahulu dari pewaris, kedudukannya digantikan oleh anakanaknya atau cucu pewaris.
b)      Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersamasama saudara pewaris; Bagian golongan kedua yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke atas yaitu orang tua, ayah dan ibu, serta saudara, baik laki-laki maupun perempuan beserta keturunan mereka. Menurut ketentuan BW, baik ayah, ibu maupun sudara-saudara pewaris masing-masing mendapat bagian yang sama. Akan tetapi bagian ayah dan ibu senantiasa diistimewakan karena mereka tidak boleh kurang dari ¼ bagian dari seluruh harta warisan. Jadi apabila terdapat tiga orang saudara yang mewaris bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu masing-masing akan memperoleh ¼ bagian dari seluruh harta warisan. Sedangkan separoh dari harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara, masing-masing dari mereka akan memperoleh 1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal dunia, yang hidup paling lama akan memperoleh bagian sebagai berikut:
- ½ (setengah) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama dengan seorang saudaranya, baik lakilaki maupun perempuan, sama saja;
- 1/3 bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan dua orang saudara pewaris;
- ¼ (seperempat) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris.
Apabila ayah dan ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh pada saudara-saudara pewaris, sebagai ahli waris golongan dua yang masih ada. Apabila di antara saudara-saudara yang masih ada itu ternyata hanya ada yang seayah atau seibu saja dengan pewaris, maka harta warisan terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang satu bagian saudara seibu. Jika pewaris mempunyai saudara seayah dan seibu di samping saudara kandung, maka bagian saudara kandung itu diperoleh dari dua bagian yang dipisahkan tadi.

c)      Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris; Bagian golongan ketiga yang meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris, apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama maupun kedua. Dalam keadaan seperti ini sebelum harta warisan dibuka, terlebih dahulu harus dibagi dua (kloving). Selanjutnya separoh yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ayah pewaris, dan bagian yang separohnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ibu pewaris. Bagian yang masing-masing separoh hasil dari kloving itu harus diberikan pada kakek pewaris untuk bagian dari pancer ayah, sedangkan untuk bagian dari pancer ibu harus diberikan kepada nenek.
d)      Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. Apabila dalam bagian pancer ibu sama sekali tidak ada ahli waris sampai derajat keenam, maka bagian pancer ibu jatuh kepada para ahli waris dari pancer ayah, demikian pula sebaliknya.
            Seandainya saja ke-4 golongan tersebut tidak ada ( jangka waktu untuk mengakui sebagai ahli waris adalah 3 tahun ), maka harta warisan jatuh pada Negara, dan dalam hal ini dikuasai oleh Balai Harta Peninggalan. Dalam pasal 832 ayat (2) BW disebutkan: ”Apabila ahli waris yang berhak atas harta peninggalan sama sekali tidak ada, maka seluruh harta peninggalan jatuh menjadi milik negara. Selanjutnya negara wajib melunasi hutang-hutang peninggal warisan, sepanjang harta warisan itu mencukupi”. Yang dimaksud keturunannya disini adalah dapat merupakan anak-anak yang sah yang lahir dalam perkawianan maupun anak-anak yang tidak sah tetapi diakui yaitu anak-anak yang lahir diluar perkawinan tetapi diakui ( erkend natuurlijk).
Dalam pembagian warisan untuk golongan 1 dan golongan 2 dimungkinkan adanya ahli waris pengganti, yaitu ahli waris yang menggantikan tempat ahli waris yang sebenarnya karena telah meninggal dunia lebih dahulu dari si pewaris.
                        Menurut undang-undang ada tiga macam penggantian  (representatie) yaitu :   
1.     Penggantian dalam garis lurus ke bawah. Ini dapat terjadi dengan tiada batasnya. Tiap anak yang meninggal lebih dahulu digantikan oleh semua anak-anaknya.
2.     Penggantian dalam garis samping ( zijlinie ). Bahwa tiap saudara yang meninggal lebih dahulu maka kedudukannya digantikan oleh anak-anaknya. Ini juga dapat terjadi tiada batas.
3.     Penggatian dalam garis samping, dalam hal yang tampil ke muka sebagai ahli waris anggota keluarga yang lebih jauh tingkat hubungannya daripada seorang saudara, misalnya seorang paman atau keponakan. Disini ditetapkan bahwa saudara dari seorang yang tampil ke muka sebagai ahli waris itu meninggal lebih dahulu, dapat digantikan anak-anaknya.

E. Perihal Wasiat
            Surat wasiat atau testament adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia. Pada dasarnya suatu wasiat adalah keluar dari satu pihak saja ( eenzijdig ) dan setiap saat dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya. Pasal 874 BW telah menerangkan tentang arti wasiat bahwa isi wasiat itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Pembatasan penting disini adalah terletak dalam pasal legitieme portie yaitu bagian warisan yang sudah ditetapkan menjadi hak ahli waris dalam garis lencang dan tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan.
            Suatu wasiat dapat juga berisikan suatu “ legaat “ yaitu suatu pemberian kepada seseorang. Adapun yang dapat diberikan dalam suatu legaat berupa :
  1. Satu atau beberapa benda tertentu.
  2. Seluruh benda dari satu macam, misalnya seluruh benda bergerak.
  3. Hak “ vruchtgebruik “ atas sebagian atau seluruh warisan.
  4. Suatu hak lain boedel, misalnya hak untuk mengambil satu atau beberapa benda tertentu dari boedel.  
Yang berhak mendapatkan wasiat, yaitu :
  1. Orang yang patut menerima warisan.
  2. Ahli waris.
Yang berhak membuat surat wasiat, yaitu :
  1. Mereka yang sudah berumur 18 tahun ( dewasa ).
  2. Mereka yang sudah menikah walaupun belum berumur 18 tahun.
  3. Harus mempunyai pikiran yang sehat.
Orang yang belum dewasa atau belum dianggap dewasa, jika melakukan tindakan hukum maka akibat hukumnya adalah batal atau dapat dibatalkan. Orang yang pikirannya tidak sehat, jika membuat surat wasiat maka hukumnya tidak sah, dan tidak sahnya itu harus dibuktikan oleh hakim. Orang asing hanya diperkenankan membuat surat wasiat terbuka, dengan dasar hukumnya Stb. 1924 ; 556 ( Timur Asing bukan Tionghoa ).
Macam surat wasiat dibedakan menjadi 2, yaitu :
  1. Surat wasiat menurut bentuknya ( sesuai pasal 931 BW ). Dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
1.      Surat wasiat olografis ( olographis testament ). Adalah surat wasiat yang seluruhnya ditulis tangan dan ditandatangani sendiri oleh si pewaris.
2.   Surat wasiat umum ( openbaar testament ). Adalah surat wasiat dengan akta umum yang harus dibuat di hadapan notaries dengan dihadiri oleh 2 orang saksi. Pewaris menerangkan kepada notaries apa yang dikehendakinya dan notaries dengan kata-kata yang jelas harus menulis atau menyuruh menulis kehendak pewaris.
3.   Surat wasiat rahasia / tertutup. Adalah surat wasiat yang dibuat pewaris dengan tulisan sendiri atau ditulis orang lain, yang ditandatangani oleh si pewaris. Kemudian surat wasiat / sampul yang berisi surat wasiat ini harus ditutup dan disegel dan diserahkan kepada notaries dengan dihadiri oleh 4 orang saksi.
  1. Surat wasiat menurut isinya. Dibagi menjadi 2 macam, yaitu :
1.      Surat wasiat pengangkatan waris ( pasal 954 BW ). Adalah surat wasiat yang berisi bahwa si pewaris memberikan kepada seseorang atau lebih seluruh atau sebagian dari harta kekayaannya jika ia meninggal dunia.
2.   Surat wasiat hibah ( pasal 957 BW ). Adalah surat wasiat yang memuat ketetapan-ketetapan khusus, dengan mana si pewaris memberikan kepada seseorang atau lebih, yaitu :
     
1. Satu atau beberapa benda tertentu, atau ;
      2. Seluruh benda dari satu jenis tertentu, atau ;
3. Hak memungut hasil dari seluruh atau sebagain harta   peninggalan.
Ada juga wasiat yang dibuat dengan akta di bawah tangan yang disebut dengan nama “ codicil “ yaitu akta di bawah tangan yang dibuat si pewaris tentang hal-hal yang termasuk dalam pembagian warisan. Jadi bukan mengenai harta kekayaan, tetapi berisi antara lain :
  1. Pengangkatan pelaksana waris ( executeur testamentair ).
  2. Penyelenggaraan penguburan.
  3. Penghibahan pakaian, meubel tertentu, perhiasan tertentu.
  4. Penunjukan wali untuk anaknya.
  5. Pengakuan anak yang lahir diluar perkawinan.
F. Bagian Anak Luar Kawin
Dalam hal ini pengertian anak luar kawin ada tiga macam :
1.      Natuurlijk kind, Anak akibat hubungan antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya keterikatan keduanya dalam perkawinan.
2.      Over spelige kinderenn,  Anak akibat hubungan antara laki-laki dan perempuan adanya keterikatan keduanya dalam perkawinan dengan orang lain.
3.      In bloedschande ge teel de kinderen, Anak akibat hubungan antara laki-laki dan perempuan yang keduanya menurut undang-undang dilarang kawin.
Bagian warisan untuk anak yang lahir di luar perkawinan antara lain diatur sebagai berikut :
- 1/3 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan mewaris bersama-sama dengan anak yang sah serta janda atau duda yang hidup paling lama;
- ½ dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan mewaris bersama-sama dengan ahli waris golongan kedua dan golongan ketiga;
- ¾ dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan mewaris bersama-sama ahli waris golongan keempat, yaitu sanak keluarga pewaris sampai derajat keenam.
- ½ dari bagian anak sah, apabila ia mewaris hanya bersamasama dengan kakek atau nenek pewaris, setelah terjadi kloving.
Mengenai pewarisan terhadap anak luar kawin ini diatur dalam Pasal 862 s.d. Pasal 866 KUH Perdata:
1.      Jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau seorang suami atau istri, maka anak-anak luar kawin mewarisi 1/3 bagian dari bagian yang seharusnya mereka terima jika mereka sebagai anak-anak yang sah (lihat Pasal 863 KUH Perdata);
2.      Jika yang meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, tetapi meninggalkan keluarga sedarah, dalam garis ke atas (ibu, bapak, nenek, dst.) atau saudara laki-laki dan perempuan atau keturunannya, maka anak-anak yang diakui tersebut mewaris 1/2 dari warisan. Namun, jika hanya terdapat saudara dalam derajat yang lebih jauh, maka anak-anak yang diakui tersebut mendapat 3/4 (lihat Pasal 863 KUH Perdata);
3.      Bagian anak luar kawin harus diberikan lebih dahulu. Kemudian sisanya baru dibagi-bagi antara para waris yang sah (lihat Pasal 864 KUH Perdata);
4.      Jika yang meninggal tidak meninggalkan ahli waris yang sah, maka mereka memperoleh seluruh warisan (lihat Pasal 865 KUH Perdata)
5.      Jika anak luar kawin itu meninggal dahulu, maka ia dapat digantikan anak-anaknya (yang sah) (lihat Pasal 866 KUH Perdata).
G. Analisis Kasus
Bintang film Suzzanna wafat Rabu 15 Oktober 2008 sehari setelah merayakan ulang tahun ke -66. Sebelum meninggal, almarhum telah meninggalkan surat wasiat yang Isi surat wasiatnya, jika Suzanna wafat, yang boleh mengurus hanya suaminya, Clift Andro Nathalia (Clift Sangra), suaminya. Untuk keperluan visum, Clift harus menghubungi dokter, polisi, RT, dan RW. Dalam hal ini, Kasus surat wasiat Suzanna yang didalamnya mewariskan semua harta miliknya kepada suami keduanya (CLIFF SANGRA) dan anak angkatnya (RAHMA) menyebabkan anak kandungnya dari suami pertama, KIKI MARIA menjadi tersisih kan karena adanya Surat wasiat Suzana tersebut.
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Didalam KUH perdata di atur tentang warisan dengan wasiat ini untuk melindungi ahli waris yang sah agar tidak dirugikan oleh tindakan sewenang-wenang si pewaris (dalam kasus ini suzanna adalah pewaris). Surat wasiat atau testament adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia. Pada dasarnya suatu wasiat adalah keluar dari satu pihak saja ( eenzijdig ) dan setiap saat dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya.
Dalam kasus waris Susannah ini adanya beberapa pihak yang mendapat warisan diantaranya:
1.      Kiki Maria selaku sebagai anak kandungnya dari suami yang pertama termasuk ahli waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah golongan yang pertama.
2.      CLIFF SANGRA sebagai suami kedua dari Susannah juga termasuk ahli waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah golongan yang pertama.
3.      RAHMA adalah anak angkat Susannah saat menjadi isri Cliff.

Asas dan pasal yang bersangkutan :
Pasal 874 BW telah menerangkan tentang arti wasiat bahwa isi wasiat itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Pembatasan penting disini adalah terletak dalam pasal legitieme portie yaitu bagian warisan yang sudah ditetapkan menjadi hak ahli waris dalam garis lencang dan tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan.
Menurut undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan / atau yang hidup paling lama.; Bagian golongan pertama yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak-anak beserta keturunan mereka, dan janda atau duda yang hidup paling lama, masing-masing memperoleh satu bagian yang sama. Jadi bila terdapat empat orang anak dan janda, mereka masing-masing mendapat 1/5 bagian.
Pasal 899 KUHper. Bahwa ahli waris karena di tunjuk dalam surat wasiat = testament.
Pasal 874 KUH Perdata telah dinyatakan pula bahwa segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang – undang, sekedar terhadap itu dengan surat wasiat telah diambilnya suatu ketetapan yang sah.
Kesimpulan dari kasus ini, setelah melihat dari asas-asas serta pasal-pasal dalam KUH Perdata yang bersangkutan terdapat tiga ahli waris.  Maka Kiki Maria selaku sebagai anak kandungnya dari suami yang pertama berhak mendapat warisan atas dasar asas legitieme portie.Sedangkan Clif selaku sebagai suami yang kedua dari Susannah, mendapatkan harta peninggalan almarhumah karena termasuk dalam golongan pertama dalam ahli waris menurut hubungan darah. Kemudian Rahma yang sebagai anak angkat yang sah Susannah pada saat berumah tangga dengan Clif tetap mendapatkan warisan sesuai isi surat wasiat tersebut.





























Daftar Pustaka

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Saifullah, Dr. H. SH. M. Hum. Buku Ajar Wawasan Hukum Perdata Di Indonesia. 2011